KEHAMILAN TIDAK DIINGINKAN (KTD)
Kehamilan sebenarnya merupakan proses alamiah, demikian pula melahirkan. Tetapi hal tersebut sering menghadapkan wanita pada kondisi yang mengancam kesehatan dirinya bahkan menyebabkan kematian. Risiko menjadi lebih besar di daerah-daerah dengan tingkat kesehatan masih rendah. Kasus-kasus kehamilan yang tidak diinginkan menjadi satu masalah besar dari kesehatan reproduksi. Proses kehamilan yang diinginkan dan direncanakan saja masih sering memberikan risiko pada wanita, apalagi kasus-kasus kehamilan tidak diinginkan.
50% UNWANTED PREGNANCY
Kalau berbicara angka-angka, faktanya di seluruh dunia setiap menit terjadi 380 kehamilan. Separuhnya, 190 kehamilan, adalah kehamilan yang tidak diinginkan, 110 wanita mengalami komplikasi kehamilan dan persalinan, 40 wanita mengalami pengguguran kandungan yang tidak aman, dan ujungnya 1 wanita meninggal akibat komplikasi kehamilan dan persalinan.
Angka kematian ibu di Indonesia masih tinggi, yaitu sekitar 307 per 100 kelahiran hidup (2003). Tahun 2005 angkanya turun menjadi 290,8 per 100 kelahiran hidup. Tapi angka ini tetap berada di peringkat atas di kawasan Asia Tenggara. Kalau dihitung-hitung, di Indonesia, dalam 1 hari ada sekitar 50 ibu meninggal karena komplikasi kehamilan dan persalinan. Sungguh memprihatinkan…!
Kehamilan pada usia dini, di bawah 19 tahun tentu saja berisiko. Remaja yang hamil, apalagi bila kehamilan tersebut tidak diinginkan, secara psikologis belum matang, berakibat perawatan diri dan kehamilan tidak optimal. Kehamilan remaja meningkatkan risiko lahir mati, kelahiran kurang bulan (premature), bayi berat lahir rendah, risiko keracunan kehamilan (preeklamsia) 50% lebih tinggi, dan yang pasti mengurangi kesempatan si ibu mendapatkan pendidikan dan pekerjaan.
KESEHATAN REPRODUKSI MINIM
Banyaknya kasus kehamilan remaja menimbulkan pertanyaan, apakah kesehatan reproduksi remaja terabaikan? Apakah tingkat pengetahuan remaja mengenai masalah seksualitas kurang? Sudah cukupkah media informasi tentang kesehatan reproduksi untuk remaja? Bagaimanakah hak mereka untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi? Tentu hal ini tidak mungkin dilakukan oleh tenaga kesehatan saja. Sudah pasti menjadi ‘PR’ banyak pihak, melibatkan bidang pendidikan, agama, dan tentu saja pemerintah sebagai pembuat kebijakan.
Bagaimana dengan kasus ibu yang tidak menginginkan kehamilannya? Kenyataannya lebih dari 80% kasus kehamilan yang tidak diinginkan justru terjadi pada kelompok ini, ibu-ibu yang gagal menggunakan kontrasepsi. Rupanya, hak kesehatan reproduksi belum sepenuhnya dimengerti dan diperoleh setiap wanita. Bukannya para wanita tidak mau menggunakan alat kontrasepsi, tapi terkadang pemahaman, bahkan akses terhadap pengetahuan tentang kesehatan reproduksi masih kurang. Apalagi terhadap pelayanan kesehatan reproduksi. Dukungan dari pria atau para suami terhadap kesehatan reproduksi masih minim.
Kesehatan reproduksi walaupun sepertinya ‘milik’ wanita tapi pengetahuan, pemahaman, dan pelaksanaan tidak bisa hanya dilakukan wanita ‘sendirian’ tapi juga para pria/suami. Para pria belum sepenuhnya terlibat, walaupun sekedar dukungan pada istrinya untuk memperoleh hak kesehatan reproduksi mereka. Sepele saja, misalnya mengingatkan istrinya minum pil atau jadwal suntik. Berdiskusi masalah kontrasepsi yang sesuai serta ikut mengantar istri ke tenaga kesehatan, menyisihkan anggaran keluarga untuk kontrasepsi.
Ironi sekali jika sang bapak menghambur-hamburkan uang untuk membeli rokok, sampai-sampai si istri tidak dapat membeli alat kontrasepsi. Peran serta dan dukungan pria sangat diharapkan, sehingga pria bukannya sering tampak sebagai ‘sumber masalah’ tapi ‘membantu penyelesaian masalah’.
Unwanted pregnancy selalu berkaitan erat dengan praktek pengguguran kandungan yang tidak aman (unsafe abortion). Wanita yang tidak menginginkan kehamilan tentu akan berusaha untuk menggugurkan kandungannya. Seribu satu alasan dikemukakan untuk membujuk tenaga medis mau menggugurkan kehamilannya, mulai masih sekolah, belum punya pekerjaan tetap, anak sebelumnya masih kecil, jarak operasi sesar sebelumnya terlalu dekat, sudah banyak anak, usia sudah tua dan lain-lain.
Lebih sialnya wanita-wanita tersebut kebanyakan harus menghadapi sendiri sakit dan kebingungan. Gadis-gadis hamil stres ditinggal pacarnya yang tidak bertanggung jawab. Ibu-ibu kesal saat disalahkan suaminya kenapa bisa hamil. Padahal, kehamilan tidak mungkin terjadi kalau bukan ‘perbuatan’ kedua belah pihak. Kondisi ini sering menyebabkan kebingungan, bisa berujung putus asa. Ke mana mereka mencari penyelesaian? Ujungnya banyak yang melakukan segala upaya untuk menggugurkan kandungannya.
Sebaliknya tenaga medis (dokter ataupun dokter spesialis) sesuai dengan sumpah dokter dan berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, tentu tidak akan melakukan tindakan aborsi. Ada pengecualian, seperti ada indikasi medis dengan syarat-syarat tertentu. Apabila gagal menggugurkan kandungan ke tenaga medis, sering mereka akan lari ke dukun atau klinik aborsi yang jelas ilegal. Akibatnya terjadi unsafe abortion, karena upaya pengguguran kandungan dilakukan orang yang tidak berkompeten.
Mereka menggunakan alat-alat dan cara-cara yang berbahaya. Ada yang menggunakan dahan tumbuhan ditusuk-tusukkan melalui vagina, atau dipijat-pijat perutnya bahkan sampai diinjak-injak. Tentu saja tindakan-tindakan tersebut dapat menimbulkan perdarahan, infeksi, dan tidak sedikit yang berujung pada kematian ibu.
Betapapun rumitnya permasalahan unwanted pregnancy dan unsafe abortion, namun bukan berarti melegalkan pengguguran kandungan.
Kasus yang sudah terlanjur terjadi diupayakan penyelesaiannya, bukan dengan pengguguran kandungan. Tentu saja menuntut upaya banyak pihak untuk mendukung wanita korban unwanted pregnancy. Keluarga harus diberi pengertian bahwa ada lembaga-lembaga yang mau menerima dan membantu para wanita (terutama kasus kehamilan remaja) selama mereka hamil dan melahirkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar